Setiap pelajar yang pernah mempelajari Bahasa Inggris sudah paham bahwa dalam budaya pengguna Bahasa tersebut, terdapat tiga kalimat sakti agar komunikasi berjalan baik yakni: excuse me, thank you dan I’m sorry. Dan itu sudah terbukti di event dunia semegah Olimpiade Paris yang dibuka dengan parade 10.500 atlet naik di atas kapal dimulai paling depan adalah kontingen Yunani untuk melintasi Sungai Seine sepanjang 6 kilometer (27/7/2024).
Penyelenggara Olimpiade Paris meminta maaf kepada warga nasrani yang mungkin tersinggung karena saat upacara pembukaan ditampilkan sebuah drama yang menggambarkan dewa Yunani Dionysus dan festival kuno yang dimaksudkan untuk menghormatinya. Kata kritikus, itu mengejek “The Last Supper.” Permintaan maaf Panitia Olimpiade Musim Panas Paris 2024 ini pun bisa jadi sekedar gambit, basa basi, dengan tujuan yang sangat mulia, yakni mencegah kegaduhan yang mungkin muncul karenanya pada tingkat dunia! Atau memang tulus meminta maaf.

Empat hari kemudian, di Indonesia, pada Kamis malam (1/8/4), di halaman Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin memohon maaf dengan segala kerendahan hati atas segala salah dan khilaf selama menjalankan amanah rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Permintaan maaf dari seseorang apalagi dari seorang Presiden bisa jadi sebagai bentuk kerendahan hati, tapi juga bisa jadi sekedar gambit, basa basi, sebelum seseorang biasanya akan berpamitan atau sekedar menyenangkan hati pihak lain. Who knows. Jadi, jika Presiden minta maaf secara terbuka, para pejabat atau yang merasa bersebrangan pemikiran dengan Presiden khususnya, lalu mendadak jumawa dan merasa benar, ini sebuah kedunguan. Peribahasa tak ada gading yang tak retak menunjukkan bahwa kesempurnaan itu hanya milih Allah. Bagi bangsa sebesar Bangsa Indonesia, seharusnya meminta maaf adalah sebuah kemutlakan. Entah tujuannya sekedar sopan santun ataupun apapun. Karena meminta maaf harus menjadi budaya kita.