Bertemu dengan wartawan Kompas di suatu malam di medio bulan puasa Tahun ini membuat hati saya kecut. Betapa tidak, karena si Mas wartawannnya menyetujui pandangan saya tentang adanya tren runtuhnya raksasa media cetak. Bahkan, untuk media se-mainstream Kompas pun, si Mas Kompas yang juga tergabung dalam paguyuban pencinta Sejarah di Nganjuk mengakui hal ini.
Media cetak selama ini menjadi tonggak informasi dan literasi publik. Namun, dalam dua dekade terakhir, kehadirannya terus tergerus oleh kemajuan teknologi digital. Di dunia internasional, The Independent sudah berhenti cetak sejak 2016, diikuti oleh sejumlah media besar lain seperti Seattle Post‑Intelligencer pada 2009. Bahkan
The New York Times memprediksi edisi cetaknya akan berhenti sebelum 2040 karena beban biaya dan perubahan kebiasaan pembaca.
Di Indonesia, sejumlah surat kabar besar juga menghentikan terbitan cetaknya, seperti Koran Tempo, Republika, dan Koran Sindo telah menghentikan cetak sejak 2020.
Data Dewan Pers menyebut media cetak turun dari 1.329 (2012) ke 538 (2023). Kompas dan Jawa Pos masih cetak, dengan oplah sekitar 500.000 dan 842.000 eksemplar per hari, tetapi sudah mengadopsi strategi digital-first. Sebaliknya, media digital-native seperti The Nganjuk Post yang berdiri sejak 2022, memilih fokus pada platform daring tanpa cetak sama sekali. Ini mencerminkan kebutuhan efisiensi dan keterlibatan audiens yang lebih dinamis. The Nganjuk Post (thenganjukpost.com) adalah contoh media lokal digital-native sejak 2023 tanpa versi cetak, membuktikan media cetak bukan satu-satunya jalan. Dengan Tim kecil handal The Nganjuk Post bertahan untuk tetap tegak tanpa ada transactiobal – based tanpa ada tekanan pada pihak terkait yang ujung -ujungnya uang dan setara dengan premanisme.



