Gengsi versus prestasi
Prestasi sekolah negeri tak jua mampu mendongkrak nama besarnya dalam kancah proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) beberapa waktu lalu. Hanya sekolah negeri yang benar – benar sudah mengakar urat lah yang dilirik Masyarakat.
Nampaknya kepercayaan masyarakat mulai goyah terhadap kredibilitas sekolah negeri. Dan sebaliknya, kredibilitas, posisi dan prestasi sekolah swasta khususnya yang berbasis agama, makin kokoh saja. Di kota – kota besar, fenomena ini sudah berlangsung sejak dulu. Kita ambil contoh, di ibukota provinsi Jawa Timur,Surabaya, atau dikota penyangganya, Sidoarjo (termasuk didalamnya Kecamatan Krian). Di Tingkat SD dan SMP, sekolah swasta bebasis agama marak dan laku keras di PPDB yang lalu padahal sekolah tersebut terletak di area perumahan yang benar – benar jauh dari Lokasi yang bergengsi. Tapi, begitu muncul sekolah swasta berbasis agama tersebut, mendadak daerah tersebut menjadi daerah yang meningkat nilai jualnya. Kita sebut saja sekolah dibawah naungan yayasan Al Hikmah. Al Falah, dan Roudlotul Jannah. Prestasi bahkan di tingkat regional tidak terdengar, namun orangtua wali, mengutip dari pernyataan Wahid Wahyudi, mantan Kepala Dinas Pendidikan provinsi Jawa Timur waktu itu, sudah banyak yang inden untuk menyekolahkan anaknya disana. Para orangtua tersebut memperhitungkan tentang ruang lingkup dan budaya sekolah tersebut. Mereka harus memastikan anak – anaknya bergaul dalam lingkungan yang “aman” dan berkesesuaian dengan latar belakang keluarganya. Pembentukan karakter menjadi utama. Dan itu hanya bisa dicapai jika lingkungan belajar maupun pergaulan anak – anak mereka benar – benar berkesesuaian. Ini di Surabaya. Di Kota – kota lain, kita akan lebih banyak mendengar nama – nama sekolah menggunakan nama – nama asing (Bahasa Arab), seperti di Jombang, Kediri, dan kota – kota lainnya.
Kaum Elit, Urgensi dan Karakter
Saat ini, yang teramati adalah adanya rasa bangga dari orangtua (maupun anak – anak mereka) bisa menyekolahkan anak – anaknya di lingkungan khusus seperti itu. Keelitan sekolah karena faktor – faktor “aman” dan berkesesuaian dengan latar belakang keluarganya tersebut adalah masalah gunung es yang sudah dicium dan dibaca oleh Mas Menteri Pendidikan kita. Kurikulum Merdeka muncul sebagai altenatif yang memungkinkan semua sekolah memerdekakan diri dalam mengaplikasikan kebijakan kurikulum di sekolahnya. Sayangnya, selalu mereka – mereka yang di ujung tombak Pendidikan ini yang pasang badan dan njemunuh dengan apa yang sudah ada (wegah berubah) ataupun jika berubah, tidak ada signifikansi dan urgensi dalam perubahan seperti yang diinginkan Mas Menteri, tidak kreatif dalam membaca dan mengaplikasikan kebijakan tersebut. Jadilah, orangtua murid yang cerdas, ada cukup dana, dan tak ada waktu atau tak mampu mendidik karakter anaknya, bergerak serentak menyekolahkan anak – anaknya ke sekolah swasta berbasis agama tersebut. Dari waktu ke waktu , muncul kaum, elit karena dalam setiap sekolah pasti ada sebuah Komite sekolah.