Waktu baca: 3 menit
The Nganjuk Post. Nganjuk.
Kita gunakan kata mbolangers merujuk pada individu atau kelompok pecinta alam dan petualang. Mbolang sendiri adalah istilah yang berasal dari bahasa Jawa, yang berarti “berkelana” atau “berpetualang”. Dalam konteks modern, mbolang sering diartikan sebagai kegiatan berwisata atau berpetualang ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, seringkali dengan tujuan untuk menikmati keindahan alam, menguji adrenalin, atau mencari pengalaman baru.
Mbolang bisa melibatkan berbagai aktivitas, seperti hiking, camping, traveling, atau bahkan sekadar menjelajahi kota-kota baru. Yang pasti, mbolang adalah tentang mencari pengalaman baru, menikmati kebebasan, dan mengeksplorasi dunia di sekitar kita.
Dari hari ke hari, wajah-wajah manis dengan pakaian keren dan tongkat pendakian yang stylish berseliweran di media sosial, menikmati waktu di puncak gunung atau jalur pendakian. Ini mengingatkan saya pada masa kuliah sebagai mahasiswa pecinta alam sekitar tahun 1983 – 1984 an.
Kami, generasi baby boomers, memiliki pengalaman mbolang yang berbeda. Mbolang kesasar-sasar adalah kesuksesan, karena dengan dana yang cupet, setelah mbolang hampir 4-5 hari masih bisa kembali ke rumah ayah ibu di desa dalam keadaan sehat.
Berbeda dengan zaman sekarang, mbolang lebih rapi, lebih cakep, dan lebih tertata. Media sosial dan kamera handphone membuat semua orang bisa menikmati kegembiraan yang dialami oleh generasi mbolangers saat ini.
Terakhir Saya mbolang yaitu ke Melbourn, Australia pada Mei yang dingin di 2024. Sebelumnya sempat ke Sembalun, Rinjani di Februari masih di tahun yang sama. Saya ikut Ms Santi presentasi naskah di Singapura pada November 2023. Namun, karena saya terserang demam yang up and down, saya memutuskan untuk kembali ke tanah air lebih awal.


Jiwa Himapala saya meronta-ronta ketika ingin kembali ke Nganjuk-Surabaya via udara. Ini terlalu borju. Maka, saya memutuskan untuk lewat Batam. Dengan bantuan Ms Santi yang begitu sat set cak cek tat tit tut menutul berbagai aplikasi, saya bisa kembali ke Indonesia via Batam menggunakan feri. Perjalanan hanya butuh 30 menit, dan lautnya tenang tanpa ombak. Dari dalam feri, saya bisa melihat gundukan-gundukan pasir yang digunakan untuk reklamasi pantai Singapura. Saya mendengar kalau gundukan pasir itu ulah pedagang Indonesia yang menjual tanah laut. Jadi, yang katanya reklamasi PIK 1 & 2 di era Gubernur Ahok terus dihentikan di era Anies, itu mah… mimpi! Jalan terus, kok! Sampai di Batam, saya merasa seperti di Singapura. Jalanan lengang, hanya sedikit penuh saat para pegawai pulang kerja. Ada jembatan Barelang yang ikonik, yang bisa digunakan untuk menuju Pulau Rempang yang didispute kan itu cukup lewat jembatan ini. Dari jembatan ini kita masih bisa juga ke Pulau lainnya yang menempel Pulau Batam dalam satu kepulauan Riau. Sopir mobil grab yang membawa saya ke hotel mengatakan bahwa Batam memang beda. Terima kasih kepada Pak Habibie di era Pak Suharto. (Bersambung)
