Toxic Productivity: Ancaman Baru Bagi Pejuang Skripsi Gen Z di Masa Kini

Produktivitas yang berlebihan telah menjadi racun baru di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa Gen Z. Di era digital yang serba instan ini, mereka seringkali terjebak dalam budaya “hustle culture” yang mendorong mereka untuk terus bekerja tanpa henti, mengejar pencapaian demi pencapaian tanpa menghiraukan kesehatan mental dan fisik mereka sendiri. Tuntutan untuk selalu produktif dan menghasilkan sesuatu telah menjadi semacam mantra yang dipuja, seolah-olah jika mereka tidak selalu sibuk, maka mereka dianggap gagal atau tidak cukup baik. Hal ini sudah saya rasakan di lingkup pertemanan saya sendiri. Pada masa perkuliahan ini, saya mulai menyadari bahwa teman-teman terdekat saya pun ternyata juga melakukan hal yang serupa, mereka membiarkan diri mereka larut dalam pusaran kesibukan, baik kesibukan akademik maupun non akademik. Namun hal yang paling terlihat adalah kesibukan non akademik, seperti mengikuti banyak kepanitiaan dalam satu waktu, menjabat di berbagai organisasi pada periode kepengurusan yang sama, dan lain-lain. Dan hal yang cukup membuat saya terkejut ialah kesibukan itu mereka ciptakan untuk semata-mata bisa melupakan permasalahan yang mereka alami, seperti permasalahan move on dari hubungan dengan sang mantan pacar, permasalahan sekedar hampa apabila tidak melakukan atau hanya melakukan sedikit kegiatan, dan lain sebagainya. “Make everyday a busy day, because fall in love again is too dangerous” kata salah satu teman saya. Namun diantara mereka saya juga menemukan alasan yang memang murni karena ingin berprestasi, bukan sekedar fomo atau ikut-ikutan. Di samping banyaknya kesibukan mereka yang saya ketahui, saya akhirnya juga mengetahui bahwa ada efek samping dari padatnya jam kerja mereka di dunia non akademik, seperti masalah kesehatan fisik. Dari sekian banyak efek samping tersebut, yang paling umum saya temui adalah kambuhnya penyakit yang dimiliki karena pengaturan jadwal istirahat, makan, dan kerja yang tidak seimbang, hingga akhirnya hal tersebut berdampak sampai ke dunia akademik mereka. Dan dari fenomena-fenomena itu lah, akhirnya saya menyimpulkan bahwa toxic productivity ini dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti ingin melupakan permasalahan yang dialami, tekanan untuk bersaing di lingkungan akademis yang kompetitif, kebutuhan untuk selalu terlihat sukses di media sosial, serta kecenderungan untuk menyamakan harga diri dengan pencapaian. Akibatnya, banyak mahasiswa Gen Z yang mengalami burnout, stres kronis, dan masalah kesehatan mental, hingga masalah kesehatan fisik. Mereka terjebak dalam siklus tanpa akhir mengejar target dan tujuan yang terkadang kurang realistis, sementara melupakan pentingnya keseimbangan hidup dan batas-batas pribadi. Toxic productivity tidak hanya merugikan kesehatan mental dan fisik individu, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak sehat di mana persaingan dan pemikiran sempit menjadi norma. Mahasiswa Gen Z perlu disadarkan bahwa produktivitas yang sehat bukan berarti bekerja tanpa henti, tetapi justru tentang mengatur prioritas, meluangkan waktu untuk diri sendiri, dan memahami bahwa kesuksesan tidak selalu diukur dengan pencapaian eksternal semata.

(source: www.friendslifecare.org)

Pada akhirnya, kesadaran diri dan keseimbangan adalah kunci untuk menghindari jebakan toxic productivity. Mahasiswa Gen Z harus mampu melihat diri mereka sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya mesin penghasil produktivitas. Mengejar kesuksesan akademis dan profesional tentu penting, tetapi tidak dengan mengorbankan kesehatan mental dan kebahagiaan. Dunia membutuhkan generasi muda yang tidak hanya produktif, tetapi juga sehat secara holistik. Hanya dengan memprioritaskan kesejahteraan diri, mahasiswa Gen Z dapat mencapai potensi terbaik mereka sambil menjalani kehidupan yang bermakna dan berkelanjutan.

Sumber gambar : www.lpcentre.com

SSC

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *