Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2024 kali ini sekilas terlihat lebih semarak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tercatat 37 dari 38 provinsi di Indonesia yang melaksanakan pilkada. Hanya Provinsi D.I Yogyakarta yang tidak melaksanakan pemilihan gubernur, sementara itu di tingkat kabupaten/kota hanya 6 kabupaten kota yaitu kab/kota administratif di Daerah Khusus Jakarta yang tidak melaksanakan pilkada pada 2024 ini. Tentu saja dengan cakupan wilayah yang hampir menyeluruh di Indonesia membuat Pilkada serentak tahun ini menjadi pilkada serentak terbesar yang pernah diadakan oleh Indonesia.
Dengan cakupan yang luas ini, dilansir dari Antara, KPU RI menargetkan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 kali ini mencapai 82%, sebuah angka yang tergolong tinggi. Memang target ini juga didasarkan dengan pencapaian Pilkada serentak 2020 lalu yang mencapai 76% yang juga meningkat dari Pilkada serentak 2018 yatu 73%. Menurut penelitian yang dikeluarkan oleh Burhanuddin Muhtadi yang dipublikasi dalam Jurnal Integritas dikemukakan bahwa sekitar 33% masyarakat Indonesia telah “dibeli” suaranya dalam pemilu 2019 hal ini meningkat bila dibandingkan pemilu 2014 yang menunjukkan angka 29%. Tentu angka-angka ini cukup mencengangkan bagaimana politik uang menjadi keniscayaan bagi proses pemilu setelah orde baru. Belum lagi berita yang paling gres dari bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) Kemendagri pada 2020 menyebutkan biaya pencalonan gubernur diperkirakan mencapai Rp20-100 miliar. Sedangkan pencalonan bupati dan wali kota berkisar Rp20-30 miliar.
Dari data diatas, politik uang dan partisipasi pemilih, bisa dikatakan, berkorelasi positif. Lantas yang menjadi pertanyaan publik adalah apakah peningkatan partisipasi pemilih dipicu politik uang yang semakin menjamur dikalangan masyaraat? Biaya / cost yang diperlukan untuk memperoleh jabatan yang tinggi ketika dapat meraih jabatan tersebut dariamana akan tertutup? Salah satunya adalah dengan cara mengemis atau bahkan memalak Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Gubernur Bengkulu tersebut bukan? Sehingga, korupsi dikalangan pemimpin daerah terpilih menjadi jamak, jika memang demikian if that is the case. Lebih parahnya, dana yang dikorupsi bukannya untuk menutupi biaya pilkada, termasuk diantaranya adalah membayar setoran ke partai pengusung (?), tetapi masuk ke dalam kantong pribadi, mungkin?
Memang tidak semua anggota masyarakat sebagai target sasaranserangan fajar. Jika kita amati, Masyarakat yang disasar adalah mereka yang tidak terikat pada sumpah kepada Pemerintah, para mahasiswa, ataupun angggota masyarakat yang secara ekonomi sudah mapan atau mereka memang dikenal sebagai anggota masyarakat yang berintegritas tinggi. Ayo, berantas dan Lawan Politik Uang!