“Aduh, nasib yang kejam, mengapa engkau merendah yang telah rendah, mematahkan yang telah terkulai? Disini tak berhenti orang yang dirundung azab-sengsara, disana orang seolah-olah diturut oleh kemujuran, keuntungan, kesejahteraan dan kemuliaan.”
Nampaknya kutipan dari isi novel Tak Putus Dirundung Malang, karangan Sutan Takdir Alisyahbana diatas menjadi tepat untuk menggambarkan budaya kurang positif saat ini yang makin marak di kalangan remaja, para pelajar khususnya. Novel yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1929 menjadi gambaran bahwa merundung sudah terjadi sejak jaman dulu, dengan fokus pada wilayah Republik Indonesia.
Umumnya yang merundung adalah orang yang “lebih” dari yang dirundung. Kata “Lebih” diasumsikan sebagai lebih berpangkat, lebih senior, lebih kuasa, lebih kaya dan berbagai kelebihan yang lainnya. Hubungan perundungan biasanya adalah antara Atasan – bawahan, kepala – anak buah, guru – murid, senior – Yunior. Kasus perundungan paling menghebohkan sebelumnya terjadi pada remaja belasan tahun yang masih duduk di bangku SMP – SMA yang melibatkan anak – anaknya orang – orang yang “ kelebihan”. Bullying/ perundungan yang terjadi pada David Ozora oleh Mario Dandy yang terjadi di Binus School Serpong adalah kasus perundungan di sekolah yang dipicu oelh urusan pacar.