Perundungan = Kenormalan baru?
Benarkah saat ini perundungan menjadi sesuatu yang normal yang semua khalayak bisa menerimanya dengan Ikhlas? Hendra Prasetya, seorang mahasiswa di UGM menyatakan bahwa perundungan (ringan), kata dia, sudah terjadi sejak dia bersekolah di Sekolah Dasar. Jenis perundungan yang paling mengesalkan hatinya adalah saat Sebagian kecil dari teman – temannya memanggilnya dengan nama ayahnya. panggilan yang mula – mula dolakukan oleh teman – temannya yang lebih besar badannya, lama – kelamaan semua temannya di SD saat itu sering memanggilnya dengan panggilan nama ayahnya. Tapi, Hendra, mahasiswa pintar nan ramah ini, mengaku bahwa dia tidak pernah menyukai nama Ayahnya dijadikan bahan olokan seperti itu. Hal ini juga diiyakan oleh Fayiz dan Queena Nadira (keduanya Ketua OSIS SMAN 2 Nganjuk pada periode 2017/18 dan 2018/19). Jadi, memang perundungan sudah ada sejak dulu dalam berbagai bentuk namun semua yang merundung menganggapnya hal yang remeh menganggap semua hanya main – main saja atau lelucon, mengabaikan trauma yang ditimbulkannya.

Perundungan bukan sebuah lelucon!
Perundungan sebenarnya meliputi fisik, mental/ psikologis, verbal dan kultural. Ada beberapa contoh yang bisa kita kutip disini: guru meremehkan kemampuan siswa, kedua bola mata yang memutar ke atas saat melihat sesuatu yang tidak/ kurang pas dengan hati dan pikiran Sang Perundung, belum lagi ujaran/ tulisan yang terkait dengan body shaming seperti: kamu kok kurus/ gemuk sekali, coba lihat cara dia berjalan, iiih…, dan masih banyak lagi ucapan/ tulisan/ verbal yang lainnya,
Di dalam buku Handbook of classroom management yang diedit oleh Evertson dan Weinstein, kedua orang tersebut menuliskan bahwa guru harus mampu menciptakan iklim belajar yang baik untuk pembelajaran di kelas dengan berdasar pada karakter siswa, suku bangsa, budaya status sosial, usia, bahkan kemampuan siswanya.
Disini di Indonesia, ujaran yang sering diucapkan oleh guru seperti: mosok soal semudah ini tidak bisa?” “ Ayo yang les pasti bisa” Atau “Sudah les diluar. Ngapain masih tidak bisa juga?” bisa dikatakan sebagai sebuah perundungan (ringan) yang melecehkan kemampuan siswa. Sayangnya tidak banyak yang mmahami ini dan bahkan cenderung mengabaikan.

Menurut Tim Penulis, ada suatu bentuk perundungan yang selama ini terabaikan, bahkan ada yang mensalah-kategorikannya sebagai suatu perundungan fisik. Bentuk perundungan tersebut adalah perundungan mimik/ raut wajah yang mungkin dianggap main – main tapi sebenarnya itu juga bagian dari sebuah bentuk pelecehan. Seperti yang terjadi pada artis yang mengorbit di sosial media baru – baru ini yaitu Lolly Unyu. Dalam acaraPAGI PAGI AMBYARyang disiarkan oleh sebuah stasiun TV swasta nasional (17 April 2024) tersebut nampak bagaimana Lolly Unyu yang menjadi Bintang Tamu digoda dengan cara yang menurut Penulis agak berlebihan. Para Pembawa Acara memuji Lolly Unyu dengan cara melucu dengan nada suara dan mimik wajah yang melecehkan. Ini bermakna bahwa mereka tidak benar – benar sedang memuji kemampuan Lolly Unyu bernyanyi. Untunglah, Lolly Unyu cukup cerdas untuk menanggapi kekurangsantunan Sang Pembawa Acara si Rian Ibram, King Nassar dan Caren Delano. Meskipun acara ini bertujuan untuk menghibur, lucu – lucuan, namun harus dicatat bahwa mimik, cara tertawa dan menatap para Pembawa Acara kepada lolly Unyu bisa dikategorikan sebagai sebuah perundungan juga. Justru Nia Daniati dan Ferry Irawan yang menjadi Bintang tamu lainnya dalam acara tersebut nampak dengan santunnya menanggapi kemampuan Lolly Unyu dalam menyanyi. (YouTube · TRANS TV Official). Belum lagi komentar para netizen yang ikut ditampilkan di tayangan tersebut yang semuanya cenderung melecehkan namun tetap dianggap sebagai sebuah lelucon. Jadi sangatlah salah jika kita beranggapan bahwa perundungan itu adalah sesuatu yang lucu.




